17 September 2007

Langkah keluar dari Zona Nyaman

Setiap kita memiliki kenyamanan, kenikmatan dan kesenangan yang berbeda. Ada orang yang suka memancing ikan, jadi liburannya berhari-hari dihabiskan hanya di tepi kolam atau pantai hanya untuk memancing ikan.

Ia begitu sabar menunggu, ia rela diterpa sinar terik matahari, ia rela menghabiskan waktunya demi kesenangannya ini. Lain pula dengan orang yang hobbynya shopping, ia tidak merasa capek keliling-keliling seluruh plaza, padahal tanpa membeli sesuatu apapun, ia begitu menikmati akan kesenangannya ini. Teman saya hobbynya membaca buku, kalau ia sudah memiliki buku baru, ia tidak akan beranjak dari buku itu berjam-jam bahkan berhari-hari bahkan tatkala ia ke WC buku tersebut juga di bawa. Inilah beberapa contoh kenikmatan yang dimiliki manusia. Belum lagi yang hobbynya sepak bola, tinju, nonton film, dan sebagainya.
Sekarang ketika kita menerima anugerah Tuhan sebagai orang percaya, dan mendapatkan keselamatan itu. Ada tugas penting yang Tuhan inginkan kita perbuat. Kita juga harus keluar dari manusia lama kita, menuju suatu kehidupan yang baru. Tidak gampang, perlu pengorbanan. Pengorbanan ini juga relatif, tergantung pada orang tersebut. Mungkin bagi seseorang pengorbanan itu tidak terlalu besar, karena masalah itu bukan kesukaannya. Misalnya pada jam pertandingan sepak bola, bagi yang sudah terikat akan hobby ini, maka ia akan merasa pengorbanan yang sangat besar, apabila pada waktu yang bersamaan ia harus memilih meninggalkan sepak bola hanya karena hendak melakukan sesuatu buat orang lain. Namun bagi mereka yang tidak hobby sepak bola, tentu hal ini tidak menjadi masalah.

Lalu bagaimana? Saya mencatat ada tiga step yang harus diketahui dan dipahami oleh kita sehubungan out of comfort zone ini:

1. Langkah pertama , harus ada kerelaan

Dalam Alkitab ada beberapa tokoh yang secara suka-rela meninggalkan “zona nyaman”nya (comfort zone), misalkan Musa. Sejak kecil ia sudah hidup di kerajaan raja Firaun, segala kesenangan sudah dimiliki. Boleh dibilang sebagai orang Israel yang telah diadopsi sebagai anak angkat puteri Firaun, ia adalah orang yang paling beruntung. Haknya tentu tidak berbeda dengan seorang putera Mahkota. Namun ia harus tinggalkan semua ini, sebab ada tugas panggilan yang berasal dari Tuhan yakni memimpin bangsanya keluar dari Mesir menuju tanah Perjanjian. (Ibrani 11 : 24, 27). Beda dengan Saul, ketika ia tahu “zona nyamannya” terancam, maka ia berusaha membunuh sipengancamnya? Akibatnya Daud harus lari meninggalnya.
Hari ini mungkin kita tidak dipanggil Tuhan untuk meninggalkan segalanya, kita juga tidak dipanggil untuk satu tugas yang berat yakni meningalkan keluarga kita. Namun apabila kita diminta Tuhan untuk mengorbankan waktu sejenak, untuk melakukan pekerjaanNya, apakah kita rela? Saya ingat John Sung dalam hal ini, ia seoarang yang pintar, dan cerdas. Hasil ujiannya juga gemilang. Ia bahkan mencapai gelar doktor di sebuah Universitas bergengsi di Amerika. Namun ia rela membuang segala ijasahnya, hanya untuk menjadi seorang hamba, yakni hamba Tuhan.
Ada orang bilang hidup itu seperti roda yang sedang berputar, kadang kita berada di posisi atas dan kadang pula di bawah. Ketika seseorang berada pada posisi bawah, ia berharap suatu saat dapat mencapai posisi atas, namun ketika ia mencapai posisi atas ia kadang kala lupa bahwa hidup ini ibarat “roda”, sehingga pada waktunya turun, ia ngotot bertahan. Hal inilah yang sering kali mengakibatkan gereja terjadi pertikaian. Kalau menjadi majelis harus yang seumur hidup, kalau menjadi Gembala Sidang juga harus seumur hidup, jabatan gereja ibarat dinasti, bahkan anak cucu juga telah dipersiapan menggantikan tahtanya. Rekan kerja dianggap saingan dan musuh. Ia tidak rela melepaskan jabatan itu, mati-matian mempertahankannya. Karena jabatan ia juga bisa menjadi keras kepala, tidak mau taat pada pada Tuhan. Henry Ward Beecher mengatakan “ Salah satu perbedaan antara ketekunan dan keras kepala adalah bahwa yang satu berasal dari kemauan yang keras, sedangakan yang lainnya berasal dari ketidak-mauan yang keras.”
Beda sekali dengan sikap Jonatan anak raja Saul itu. Mestinya ia adalah calon pengganti ayahnya yakni sang putera mahkota, namun ia tidak keras kepala mempertahankan jabatan itu, bahkan secara suka-rela ia memberikan jabatan tersebut pada Daud. "Janganlah takut, sebab tangan ayahku Saul tidak akan menangkap engkau; engkau akan menjadi raja atas Israel, dan aku akan menjadi orang kedau di bawahmu. Juga ayahku Saul telah mengetahui yang demikian itu." ( 1 Samuel 23 : 17)
Terlalu sering saya mendengar orang-orang meninggalkan Tuhan kalau ia sudah gagal, artinya ia kehilangan comfort zonenya. Ketika usahanya bangkrut, ketika ia sudah gagal total, baru dengan penuh rohani mengatakan, kali ini Tuhan memukul saya, jadi saya terpaksa harus ikut Tuhan. Ada lagi yang saya temukan teman muda-mudi, mereka baru berpacaran saja sudah meninggalkan persekutuan, bahkan kadang hari Minggu tidak ke gereja. Alasannya, malam minggu harus “apel” (kunjungi pacar), jadi minggunya terlambat bangun. Berbeda sekali dengan Musa dan john Sung ini bukan!, tatkala segala kesenangan ia miliki, ia rela tinggalkan semua, dan memilih taat pada Tuhan.

2. Langkah ke dua, harus berani berkorban

Demikian juga nabi Nehemia, ia seorang kepercayaan raja Arthasasta. Boleh dikatakan jabatannya sudah cukup mapan. Namun ketika mendengar berita dari kampung halamannya, ia menjadi sedih dan menangis. Itu sebabnya dengan keberanian dan iman ia berkata kepada raja. " Jika raja menganggap baik dan berkenan kepada hambamu ini, utuslah aku ke Yehuda, ke kota pekuburan nenek moyangku, supaya aku membangunnya kembali." (Nehemia 2 :5) Keputusan yang diambil Nehemia ini cukup berani, sebab saat itu ia berhadapan dengan raja. Sebagai orang kepercayaan namun bersungut-sungut karena Tembok Yerusalem, tentu ia bakal mendapat hukuman dari raja. Namun kita lihat, ia berani mengutarakan perihal ini kepada raja. Artinya apa? Artinya Nehemia siap meninggalkan kesenangan ini.
Memang kalau kita tidak berani mengambil resiko, maka kita tidak akan pernah dapat meninggalkan “wilayah kesenangan” kita. Ada orang memang tidak mau mengalami kesusahan sedikitpun. Percaya kepada Tuhan Yesus, berbakti di gereja, memberi persembahan baginya itu sudah cukup. Kalau diajak untuk terlibat di dalam pelayanan, maka hal ini yang menjadi pergumulannya. Baginya tugas ini rasanya berat sekali, ia merasa seperti mengorbankan segala-galanya.
Tatkala Nabi Hosea diminta Tuhan untuk mengawini perempuan sundal, tentu hal ini bukan suatu tugas yang gampang. Namun Hosea rela mengorbankan harga dirinya, keluar dari kenikmatan hidup sebagi seorang nabi, yang kemungkinan besar karena hal ini ia akan diejek dan dicaci. Hosea berani membayar harga, karena ia tahu Tuhan Allah telah membayar harga kepadanya juga.
Jaman sekarang di gereja kita tidak susah mencari orang yang mau melayani Tuhan, apalagi yang peranannya di depan, misalnya Paduan Suara, Pemimpin Pujian dan sebagainya yang dapat terlihat oleh orang banyak, karena baginya ada nilai plus dan kebanggaan tersendiri. Namun kita sulit mencari orang-orang yang rela berkorban buat Tuhan. Apalagi karena itu mereka yang harus mengeluarkan uang, diejek, dicaci, dimarahi. Tidak banyak yang berani mengambil resiko dan berkorban? Bagaimana dengan anda?

3. Langkah ke tiga, harus beriman

Tatkala Abraham diminta Tuhan Allah keluar dari tanah Ur Kasdim, tentunya hal ini bukan suatu keputusan panggilan yang gampang. Apalagi Abraham sendiri tidak tahu kemana ia harus pergi, sebab Allah hanya memberikan suatu petunjuk pergilah ke suatu negeri. Negeri yang mana? Dahulu belum ada peta yang jelas, itu berarti ia harus keluar dari kesenangan yang telah dibangun bertahun-tahun beserta sanak saudaranya. Kejadian 15 : 7 mencatat firman TUHAN kepadanya: "Akulah TUHAN, yang membawa engkau keluar dari Ur-Kasdim untuk memberikan negeri ini kepadamu menjadi milikmu." Kalau tidak hanya dengan iman, tentu tidak mungkin Abraham dapat melangkah maju. Apalagi ketika ia harus mempersembahkan anak kesayangannya Ishak, anak yang ditunggu kelahirannya selama 25 tahun, tentu ini pergumulan berat. Sekali lagi, jika tidak dengan iman, tentu iman yang dimaksud di sini bukan hanya sekadar percaya kepada Allah, tetapi sekaligus ada penyerahan secara total kepada Tuhan, dan mempercayakan seluruh hidup kita kepadaNya.
Saya kurang tahu bagaimana pergumulan anda tatkala suatu hari harus keluar dari “wilayah” yang anda suka dan senangi selama ini? Banyak orang maunya yang senang dan gampang., asalkan semua sudah dipersiapkan dan terjamin baru melangkah. Di gereja juga sering ditemukan kejadian seperti ini, apabila semua dana telah tersedia, barulah semua program itu dikerjakan, maunya yang instan. Kalau dana belum tersedia, jangan pikir ada tindakan lanjutnya. Hal ini tentu tidak sesuai dengan prinsip kekristen yang mengatakan bahwa “Allah akan Menyediakan”. Lihat Abraham ketika keluar dari kesenangan hidupnya, Allah tetap memeliharanya, lihat Musa, Allah juga menjaga dan memeliharanya, walaupun kadang ada kesukaran dan jalan buntu namun Allah membuka jalan keluar. “ Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya. “ (1 Korintus 10 : 13)
Surat Ibrani mencatat banyak tokoh-tokoh yang diminta keluar dari kesenangannya, dan hanya dengan iman saja mereka lakukan itu. (lihat Ibrani 11). Dengan iman maka Petrus keluar dari wilayah kesenangannya, kemudian berjalan di atas air. Namun tatakala imannya goyah, maka iapun tenggelam. Dengan iman Daniel dan kawan-kawan harus mempertahan diri, dan mereka tidak makan makanan hidangan raja.
Saya ingat sekali tatkala kuliah di Seminari, salah satu peristiwa penting di dalam hidup saya yang harus out of comfort zome adalah masalah kehidupan di Asrama. Di sana kami dibentuk dengan tidak mengalami kebebasan seperti biasanya. Setiap hari harus kuliah, bangun dan tidur ditetapkan jamnya, kehidupan dipantau dan diatur, masuk-keluar juga terbatas, seminggu hanya boleh sekali saja. Tidak boleh berpacaran, tidak boleh nonton dan banyak lagi. Nah untuk menghadapi zona yang baru ini, kalau tidak berdasarkan kesukarelaan, rela berkorban dan berjalan dengan iman, tentu tidak dapat melewati hari-hari dengan penuh suka-cita, hidup rasanya seperti tersiksa.
Jangan berpikir setiap kita out dari comfort zone itu berarti memasuki kondisi yang tidak menyenangkan? Tatkala kita memutuskan untuk berpacaran, menikah, pindah pekerjaan, kuliah di Luar Negeri dan sebagainya, kita sudah memutuskan untuk keluar dari wilayah kenyamanan kita. Jadi mestinya kita tidak perlu gentar dan takut, karena di zona yang baru ini pasti kita akan menemukan comfort yang yang tersendiri. Masalahnya adalah, sudah siapkah anda melangkah?

*) Penulis adalah rohaniwan, penulis, lulusan Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, yang saat ini melayani di Gereja Injili Indonesia San Jose, California.

http://buku2006.blogspot.com
Read More......

12 Juli 2007

KEMBANGKAN NILAI-NILAI KELURUHAN DALAM DIRI ANDA SEJAK DINI

Nilai-nilai Keutamaan
  • Apa yang membuat kehidupan manusia menjadi lebih baik?
  • Memberi nilai pujian yang baik kepada seseorang atau kelompok tertentu, tetapi disisi lain kita memberi cela kepada kelompok yang lain. Mengapa?

Jika kita mencari dasar yang lebih mendalam atas sikap dan perlakuan yang berbeda-beda itu, maka kita akan memasuki wilayah teori etika. Kita mencari fundamen rasional atas penilaian kita itu. Tentu saja, kalau berbicara tentang “perbuatan yang baik”, yang kita maksudkan adalah baik dari sudut moral, bukan dari sudut teknis atau sebagainya. Bisa saja, menurut segi teknisnya suatu perbuatan adalah baik sekali, walaupun dari segi moral perbuatan itu justru buruk dan karena itu harus ditolak.

Teori-teori Etika selain Teori Keutamaan yang menjadi pokok bahasan tulisan ini, kita mengenal juga teori utilitarisme, teori deontologi dan teori hak yang dijelaskan secara secara singkat.

  1. Teori Utilitarisme berasal dari kata latin utilis yang berarti “bermanfaat”. Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat secara keseluruhan. Jadi utilitarisme ini tidak boleh dimengerti dengan cara egois saja. Perbuatan yang sempat mengakibatkan paling banyak orang merasa senang dan puas adalah perbuatan yang terbaik.

  2. Teori Deontologi yang setidak-tidaknya dengan implisit sudah diterima dalam konteks agama, sekarang merupakan juga salah satu teori etika yang terpenting. Yang memberi pendasaran filosofis kepada teori deontologi adalah filsuf besar dari Jerman, Immanuel Kant (1724 -1804). Mengapa suatu perbuatan disebut baik? Menurut Kant, suatu perbuatan adalah baik, jika dilakukan karena harus dilakukan atau dengan kata lain jika dilakukan karena kewajiban. Kant mengatakan juga; suatu perbuatan adalah baik, jika dilakukan berdasarkan “imperative katagoris”.

  3. Teori Hak didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Karena itu teori hak sangat cocok dengan suasana pemikiran demokratis. Entah menjadi raja, atau lahir sebagai bangsawan, atau termasuk rakyat biasa, martabatnya selalu sama. Menurut teori hak, perbuatan adalah baik, jika sesuai dengan hak manusia. Semua teori ini didasarkan pada prinsip (rule based).

Di samping teori-teori yang disebutkan diatas, mungkin lagi suatu pendekatan lain yang tidak menyoroti perbuatan, tetapi memfokuskan pada seluruh manusia sebagai pelaku moral. Tidak ditanyakan :”what should he/she do?, melainkan: “what kind of person should he/she be?”. Teori yang dimaksud adalah teori keutamaan. Teori keutamaan (virtue) ini akan memandang sikap dan ahlak seseorang. Tidak ditanyakan apakah suatu perbuatan tertentu adil, atau jujur atau murah hati melainkan apakah orang itu bersikap adil, jujur dan murah hati dan sebagainya.

  1. Dalam etika dewasa ini terdapat minat khusus untuk teori keutamaan sebagai reaksi atas teori-teori etika sebelumnya yang terlalu berat sebelah dalam mengukur perbuatan dengan prinsip atau norma. Namun demikian, dalam sejarah etika teori tidak merupakan sesuatu yang baru. Sebaliknya, teori ini mempunyai suatu tradisi lama yang sudah mulai pada waktu filsafat Yunani kuno. Dalam hal ini tokoh besar yang masih dikagumi sekarang, adalah Aristoteles (384-322 SM).
  2. Teori keutamaan sekarang untuk sebagaian besar menghidupkan kembali pemikiran Aristoteles. Kadang-kadang virtue diterjemahkan sebagai “kebajikan” atau “kesalehan”. Tetapi terjemahan lebih baik dalam bahasa Indonesia adalah “keutamaan”, karena terjemahan itulah paling dekat dengan kata arete yang dipakai Aristoteles dan seluruh tradisi filsafat Yunani.

Apa yang dimaksudkan dengan keutamaan?

Keutamaan bisa didefinisikan sebagai berikut : “disposisi watak yang telah diperoleh seseorang dan memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik secara moral.”

Kebijakan, misalnya merupakan suatu keutamaan yang membuat seseorang mengambil keputusan tepat dalam setiap situasi.

Keadilan adalah keutamaan lain yang membuat seseorang selalu memberikan kepada sesama apa menjadi haknya.

Kerendahan hati adalah keutamaan yang membuat seseorang tidak menonjolkan diri, sekalipun situasi mengizinkan.

Suka bekerja keras adalah keutamaan yang membuat seseorang mengatasi kecendrungan spontan untuk bermalas-malasan. Ada banyak keutamaan semacam ini. Seseorang adalah orang yang baik jika memiliki keutamaan. Hidup yang baik adalah hidup menurut keutamaan.

Hidup yang baik adalah virtuous life, hidup keutamaan.Keutamaan tidak boleh dibatasi pada taraf pribadi saja, tetapi selalu harus ditempatkan dalam konteks komuniter. Hal itu sudah digaris bawahi dengan tekanan besar dalam pemikiran moral Aristoteles. Menurut pemikir Yunani ini, hidup etis hanya mungkin dalam polis, dalam negara-negara yunani waktu itu. Manusia adalah “mahluk politik”, dalam arti: tidak bisa dilepaskan dari polis dan komunitasnya. Karena itu, bagi Aristoteles kepentingan pribadi tidak boleh dipertentangkan dengan kemaslahatan komunitas (the common good), Ini sebenarnya menjadi alasan utama mengapa ia menolak krematisik sebagai tidak etis. Dipandang dalam perspektif komunitas, bagi Aristoteles kremastistik sama dengan keserakahan. .Untuk sebagian, keutamaan dari Aristoteles tidak dianggap relevan lagi bagi orang modern, dan untuk sebagian lain, keutamaan modern belum tercantum dalam daftar Aristoteles. Lagi pula, aspek komuniter itu menandai juga situasi kita. Keutamaan dalam komunitas Jepang tidak sama dengan keutamaan dalam komunitas Amerika Utara. Dalam Zaman kita pun keutamaan ditandai oleh situasi dan kebudayaan setempat. Diantara keutamaan yang harus menandai perilaku perorangan dalam segala aktivitasnya seperti bekerja, berbisnis, berorganisasi, bergaul dll bisa disebut :Kejujuran , fairness, kepercayaan dan keuletan. Keempat keutamaan ini terkait erat satu sama lain dan kadang-kadang malah ada tumpang tindih diantaranya.

Kejujuran secara umum diakui sebagai keutamaan pertama dan paling penting yang harus dimiliki pebisnis. Orang yang mempunyai keutamaan kejujuran tidak akan berbohong atau menipu dalam pekerjaan yang dilakukan. Walaupun sebenarnya penipuan itu gampang.

Ketiga keutamaan lain bisa dibicarakan dengan lebih singkat Keutamaan kedua adalah fairness. Kata inggris ini sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kerap kali diberi terjemahan “keadilan” dan memang fairness dekat dengan paham “keadilan” tapi tidak sama juga. Barangkali terjemahan yang tidak terlalu meleset adalah sikap wajar.

  1. Fairness adalah kesediaan untuk memberi apa yang wajar kepada semua orang dan dengan “wajar” dimaksudkan apa yang bisa disetujui oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu pekerjaan yang dilakukan.
  2. Kepercayan (trust) juga adalah keutamaan yang penting dalam konteks bekerja/berorganisasi atau berbisnis. Kepercayaan harus ditempatkan dalam relasi timbal balik. Pebisnis yang memiliki keutamaan ini boleh mengandaikan bahwa mitranya mempunyai keutamaan yang sama Ia bertolak dari pengandaian bahwa mitranya pantas diberi kepercayaan atau bersifat bonafide, sebagaiman ia sendiri bonafide juga terhadap mereka. Pebisnis yang memiliki kepercayaan bersedia untuk menerima mitranya sebagai orang yang bisa diandalkan. Hal ini sering mendesak , karena dalam dunia bisnis kerap kali terdapat jarak waktu atau jarak tempat antara satu langkah bisnis dan langkah berikutnya. Keutamaan keempat adalah keuletan (Solomon menggunakan kata toughness). Pekerja harus bertahan dalam banyak situasi yang sulit. Ia harus sanggup mengadakan negosiasi yang terkadang seru tentang proyek atau transaksi yang bernilai besar. Ia harus berani juga mengambil resiko kecil ataupun besar, karena perkembangan banyak faktor tidak bisa diramalkan sebelumnya.
  3. Keuletan dalam organisasi/bisnis itu cukup dekat dengan keutamaan lebih umum yang disebut “keberanian moral”.

Keutamaan sebenarnya lebih cocok untuk digambarkan secara konkret dari pada diuraikan pada taraf teoritis. Dalam filsafat dewasa ini dikenal pendekatan yang disbut “naratif”. Artinya, keberanian filosofis yang mau dibicarakan, tidak diuraikan secara teoritis, melainkan dikisahkan dalam suatu contoh atau kasus konkret. Keutamaan termasuk topik yang hampir secara alami mengundang pendekatan naratif. Kita mengert apa maksudnya keutamaan secara paling baik, bilamana bisa berjumpa dengan figur pebisnis/organisatoris yang benar-benar mempraktekan keutamaan.Kejujuran-Keadilan-Kepercayaan dan Keuletan harus dimiliki oleh seseorang kalau ingin mencapai apa diharapkan. Nilai-nilai Etika moral ini akan teruji dan terbukti dalam tingkah laku/perbuatan orang sehari-hari.

Semoga bermanfaat.

Read More......

17 Februari 2007

HIDUP BERKEMENANGAN

Mazmur 13:1-6
Sering kali di dalam kehidupan sehari-hari kita merasa ragu untuk menceritakan pada orang lain bahwa sesungguhnya kita ini ragu-ragu akan keberadaan Tuhan. Bagaimana kita tidak ragu? Kita merasa telah melakukan cukup banyak untuk Tuhan.

Kita berkorban untuk Dia. Kita menghabiskan tenaga , waktu dan pikiran bahkan uang. Tidak jarang pekerjaan dan keluarga menjadi korban juga gara-gara pelayanan di gereja. Lalu apa hasilnya? Justru segala persoalan, permasalahan dan kesulitan masih saja muncul dalam kehidupan ini? Apa kesalahannya? Apa yang kurang beres? Pertanyaan ini kita simpan di dalam hati, tanpa orang lain boleh mengetahuinya. Kita diam seribu bahasa. Kita tidak berani menceritakan kepada siapapun. Resikonya sangat besar.

Kita bisa dicap kurang rohani, kurang beriman. Apalagi yang mengalami persoalan ini adalah pengurus atau majelis gereja. Terlebih-lebih lagi kalau beliau adalah hamba Tuhan. Orang-orang akan mencemooh kita. “Apa-apaan ini? Pengurus gereja namun masih meragukan Tuhan? Bila pendeta sempat mendengar mungkin Anda akan dipanggil dan dikira belum bertobat. Lebih lebih ekstrem lagi Anda diminta ikut kelas Katekisasi ulang.

Tatkala kita berada dalam posisi demikian, dan pada saat-saat kita merasa ragu. Pernahkah kita ragu atas keragu-raguan kita itu?

Mari kita melihat sedikit latar belakang sipenulis Mazmur ini. Setelah Saul mendengar suara para wanita Yerusalem bernyani memuji kemenangan Daud yang mengalahkan raksasa Goliat, maka mulai saat itu juga kehidupan Daud semakin terancam. Bayangkan saja , tatkala ia dengan santai memetik Kecapi menghibur Saul, tiba-tiba saja sebuah tombak menghujam ke arahnya; namun atas perlindungan TUHAN, Daud lolos. Tidak terhenti sampai di situ. Saul dengan berbagai cara hendak menghabisi Daud. Itu sebabnya Daud harus lari pontang-panting, sembunyi di gua-gua. Sementara itu orang-orangnya Saul tidak henti-hentinya menyerang. Itu sebabnya Daud berada pada posisi yang begitu tertekan dan terjepit. Inilah pengalaman pahit yang pernah dijalani oleh Daud.

Mazmur 13 yang ditulis oleh Daud ini berkisar pada persoalan yang hampir sama. Ayat ini dimulai dengan 4 buah pertanyaan? “Berapa lama lagi TUHAN, kau lupakan aku terus menerus? (How long O Lord, will You forgetme forever). Berapa lama lagi Kau sembunyikan wajah-Mu terhadap aku? (How long will You hide Your face from me?) Berapa lama lagi aku harus menaruh kekuatiran dalam diriku dan bersedih sepanjang hari? (How long must I bear pain in my Soul and have sorrow in my heart all day long?) Berapa lama lagi musuhku meninggikan diri atasku? (How long shall my enemy be excalted over me?)

Pertanyaan yang secara bertubi-tubi dilontarkan oleh si pemazmur membuktikan bahwa beliau merasa berada pada posisi yang kurang menguntungkan. Kita tidak tahu persis kondisinya pada waktu ia menulis bagian ini. Namun ada dugaan bahwa pemazmur itu takut meninggal dunia, sehingga diperkirakan dia sedang dalam kondisi sakit, coba banding dengan Mazmur 6. Kenapa dan sakitnya apa kita tidak tahu. Bisa saja karena serangan dari musuh sehingga ia bukan sakit secara jasmani, namun sakit mental.

Rupanya pemazmur mulai merasa kuatir , jangan-jangan pengharapannya akan TUHAN itu sia-sia belaka. Imannya tidak dapat pernah mendapat stimulasi dari TUHAN. Doanya belum terjawab. Musuh bertambah banyak mengancam, bahkan saat ini para musuh semakin jaya. Persoalan juga bertambah. Semua kejadian dan keadaan ini yang mengakibatkan pemazmur menjerit dengan suara keras? Berapa lama lagi TUHAN? Kalau kita bandingkan dengan nabi Habakuk, kondisinya juga sama. Orang-orang kafir tiba-tiba menajdi lebih makmur, tanamannya lebih subur. Habakuk juga bingung akan hal ini. Maka ia menjerit “Berapa lama lagi TUHAN”

Kalau kita mau jujur, tanpa disadari kita juga sering menjerit demikian. Tatkala muncul berbagai kekusutan persoalan rumah tangga kita. Ditambah lagi kita mengalami berbagai masalah di kantor, rekan-kerja, kondisi yang tidak menyenangkan. Atau hubungan anatara sesama sanak famili terjadi ketegangan. Atau persoalan ekonomi keluarga yang membuat kita tidak konsentrasi belajar dan bekerja. Nah, persoalan yang bertubi-tubi ini, sering kali memacu kita bertanya pada TUHAN, berapa lagi TUHAN? Kadang hal ini yang membuat kita ragu akan Tuhan.

Salah seorang teman saya yang melayani di Bandung, saat ini sedang berduka-cita. Sebab adik lakinya yang hendak menikah seminggu lagi (mungkin Minggu ini), namun minggu lalu dibunuh oleh orang yang tidak dikenal. Undangan telah dibagikan, semua sudah dipersiapkan, namun kemalangan ini terjadi. Saya dapat membayangkan sang calon pengantin sudah mencoba pakaian pengantin. Mungkin juga rencana honeymoon ke Luar Negeri sudah dipersiapkan. Tetapi, semua sirna, lenyap begitu saja. Dalam kondisi demikain orang dapat mejerit kepada TUHAN berapa lama lagi?

Saya juga bisa merasakan perasaan bagi mereka yang keluarganya mengalami korban gempa di Jogjakarta. Barang kali mereka baru saja bangun pagi, mungkin juga ada rencana-rencana masa depan yang sudah diprogramkan. Namun bencana yang tiba-tiba terjadi seakan-akan tanpa belas kasihan telah menghancurkan segala impian mereka.

Saya kurang tahu apakah Anda pernah bertanya berapa lama kepada TUHAN atau tidak? Kadang dalam perjalanan melayani TUHAN dan tatkala diperhadapkan pada kondisi tertentu saya pernah bertanya demikian. Berapa lama lagi TUHAN? Berapa lama lagi TUHAN , kami sudah berlutut berdoa bahkan juga dengan doa puasa, namun kerinduan jemaat ini akan sebuah Gedung Gereja milik sendiri belum terwujud? Berapa lama lagi Engkau Tuhan membiarkan salah seorang keluarga jemaat di tempat ini menanti terus menerus seorang anak? Berapa lama lagi?

Coba perhatikan kembali ayat 4.
Dalam kondisi kekuatiran , pemazmur kembali berhadapan dengan para musuhnya. Tadinya mereka berimbang, namun sekarang para musuhnya telah melebihinya. Mereka kemungkinan besar mengenyek, menghina dan bersorak-sorak. Itu sebabnya kembali pemazmur berkata “Pandanglah kiranya, jawablah aku, ya TUHAN, Allahku! Buatlah mataku bercahaya, supaya jangan aku tertidur dan mati” (NIV menerjemahkan Give light to my eyes, or I wil sleep in death” sedangkan NRSV “ Give light to my eyes, or I will sleep the sleep of death”). Terjemahan dalam NIV dan NRSV memakai “atau”, menunjukkan suatu permohonan pilihan yang menegaskan. “Berikan cahaya atau mati, kira-kira demikian. Ayat ini juga berarti suatu pemulihan (restore), suatu kesembuhan.

Pada saat kita mengalami kesulitan ditambah keterpojokan posisi kita, kadang orang-orang sekitar tidak ada yang dapat mengerti kita. Mungkin mereka juga mengenyek kita dan bersorak akan kegagalan kita. Kita tidak dapat menceritakan pergumulan hidup ini kepada mereka. Satu-satunya cara adalah menceritakan segala persoalan ini kepada Tuhan melalui doa-doa pribadi kita. Kita boleh sepuas-puasnya menceritakan segala hal.

Di beberapa tempat retreat tertentu kadang ada fasilitas bukit untuk kita naik ke sana dan berdoa menyendiri. Waktu itulah kita boleh melampiaskan segala curahan perasaan bagi TUHAN. TUHAN adalah Bapa kita, maka kita tidak perlu sungkan menceritakan kepada-Nya. Saya bersyukur sebagai pendeta, dan tiap minggu diberikan kesempatan berkotbah. Jadi kalau saya melampiaskan pertanyaan-pertanyaan pada TUHAN dalam kotbah tidak masalah. Doa itu bukan sekadar reaksi yang wajar dari orang benar terhadap berbagai kesukaran, namun doa juga merupakan obat mujarab melawan kesesakan hidup. Pernahkah Anda merasakannya?

Terlihat sekali berbagai tuntutan Daud bahwa ia merasa ketidaksabaran menanti jawaban TUHAN. Tuhan seakan-akan bertindak sangat lambat, sementara persoalan datang bertubi-tubi dan cepat. Sama seperti kebanyakan orang, kita lebih senang minta agar TUHAN dengan segala kuasanya menghentikan segala persoalan tersebut. Kita sering lupa bahwa TUHAN juga sanggup memberikan kekuatan pada kita untuk menghadapi dan menang atas persoalan itu. Ayat 5-6 “ Tetapi aku, kepada kasih setia-Mu aku percaya, hatiku bersorak-sorak karena penyelamatan-Mu. Aku mau menyanyi untuk TUHAN, karena Ia telah berbuat baik kepadaku. “

Daud mulai sadar, ia melihat ternyata TUHAN Allah yang disembah itu adalah TUHAN yang penuh kasih setia-Nya (unfailing love). Untuk itu maka respon yang ditujukan pada TUHAN adalah ia harus bangkit dari permasalahan dan kesulitan, bukan tenggelam dan terbawa arus. Hidup manusia begitu rapuh , bukan hanya rapu tetapi hidup kita sekaligus begitu lapuk. Gampang rusak. Ia ibarat mutiara yang harus dijaga setiap saat. Itu sebabnya tanpa Kasih setia Tuhan maka semua itu tidak akan terpelihara dengan baik. Antara hidup Normal dengan tidak jaraknya sangat dekat. Manusia normal jika tidak ada penyerahan total pada Tuhan, maka kehidupannya gampang sekali berubah menjadi abnormal.

Kasih setia Tuhan sangat terlihat di dalam diri Daud, bayangkan saja; berbagai bahaya yang semestinya terjadi di dalam dirinya, namun ia senantiasa terluput darinya. Providensi Tuhan sangat nyata di dalam diri Daud. Itu sebabnya imannya mulai terstimulasi, ia menjadi percaya. Bukan hanya itu, ia juga bersorak-sorak; karena penyelamatan dari Tuhan itu jelas dan nyata. Seorang penafsir mengatakan apabila engkau bangkit kembali di dalam Tuhan maka engkau pasti akan bangkit pula dari keputusasaan hidup ini. Inilah yang dimaksud dengan hidup yang berkemenangan itu.

Pelajaran rohani yang kita peroleh dari Daud hari ini terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama, bahwa sebagai manusia kita begitu rapuh dan lapuk. Itu sebabnya bila ada tekanan, kesulitan, persoalan, sakit, dan keputusasaan yang menimpa, kita gampang protes dan bahkan marah serta lupa diri . Namun Tuhan kadang membiarkan itu berjalan terus di dalam hidup kita, hingga kita memasuki tahap kedua. Bukan berarti IA meninggalkan kita, IA mau kita benar-benar sadar bahwa kita butuh pertolongan dari-Nya. Memasuki Tahap ke tiga, ini merupakan Tahap penentuan, ternyata Tuhan yang disembah memang benar-benar memiliki kuasa yang dahsyat. IA sanggup memberikan kita kekuasaan menghadapi berbagai persoalan yang sulit, dan bukan hanya itu. IA juga membawa kita menuju kemenangan.

Dalam rangka memperingati Hari Kenaikan Tuhan Yesus ke Surga, kita diingatkan kembali bahwa IA pergi bukan meninggalkan kita begitu saja. Tetapi di sana IA menyediakan tempat buat kita. Suatu jaminan yang pasti. Kalau kita sudah memiliki suatu jaminan dan pengharapan yang pasti seperti ini, maka selama proses perjalanan menuju ke sana apabila mengalami berbagai rintangan dan hambatan tentu tidak masalah lagi.

Kesalahan terbesar dari setiap manusia adalah, kita lebih senang kalau prosesnya dihilangkan. Kita selalu mau mengambil jalan pintas. Namun pernahkah kita bayangkan jikalau Tuhan juga memakai jalan pintas. Pernahkah kita terpikir mengapa suatu hari yang kita lewati itu 24 jam lamanya. Seakan-akan cukup lama. Ada yang merasa bosan. Namun pernahkah kita juga berpikir apa yang akan terjadi seandainya satu hari hanya kita lewati dalam jangka waktu 5 menit. Pada saat itulah waktu berjalan begitu cepat? Kita tidak sempat melakukan sesuatu. Namun dengan adanya proses waktu yang normal saat ini yang disertai segala permasalahan yang kita hadapi, ditambah lagi kemenangan yang kita peroleh. Kita dapat menyaksikannya kepada orang-orang bahwa Tuhan yang kita sembah bukan Tuhan yang tidak berdaya. Tetapi IA adalah Tuhan yang berkuasa memberikan menyelesaikan mandate kepada kita menghadapi masalah dan IA sanggup menyelesaikannya.

Jika malam hari saya hendak berangkat dari San Jose menuju San Francisco, saya butuh lampu mobil. Namun saya tidak butuh lampu yang dapat menyinari dari San Jose hingga San Francisco. Lampu yang saya butuh adalah , lampu yang sesuai jarak pandang saya mungkin sepuluh hingga dua puluh meter saja sudah cukup. Yang penting adalah saya mengerti direction, dan pasti saya akan tiba di San Francisco. Jadi setiap miles saya boleh dituntun oleh lampu tersebut sudah cukup. Demikian juga proses perlindungan Tuhan dalam hidup kita. Kalau hari ini kita melewati hari-hari kita, itu sudah pertanda Tuhan memelihara kita.

Bersyukurlah kita sekarang ini hidup di dalam jaman Anugerah. Tuhan mengutus Yesus senantiasa mendampingi kita. Kuasanya yang dahsyat melampaui alam semesta. Kita sungguh yakin bahwa IA sanggup memberikan kekuatan kepada kita menghadapi segala persoalan. Kalau tidak , maka tidak mungkin IA mengatakan “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu”. (Matius 11 : 28)

Read More......