Mari kita bayangkan keadaan terhina itu. Ya begitulah rasanya. Meriangnya sampai ke jiwa. Jika melihat sang penghina rasanya ia hendak kita lumat hingga selumat-lumatnya. Cara paling sehat untuk membuang perasaan terhina ini adalah dengan cara menyalurkan dengan segera. Sayang cara ini tidak mudah karena berbagai keterbatasan.
Pertama adalah keterbatasan hukum. Melumat begitu saja para penghina, jatuhnya cuma akan melanggar hukum. Padahal tak setiap dari kita kuat dan berani melanggar hukum. Kedua adalah keterbatasan kita sendiri. Contoh kedua ini dililustrasikan dengan baik oleh maestro lawak Jawa kegemaran saya: Junaedi di salah satu kasetnya. Saat itu ia bercerita tentang istrinya yang digoda lelaki iseng di jalanan. Sebagai suami terhormat ia marah luar biasa dan bersiap melabrak sang penggoda. Untung kemarahan itu tidak mengganggu akal sehatnya. Sebelum main labrak ia bertanya lebih dulu keadaan sang penggoda itu. ‘'Tinggi besar,'' jawab sang istri. Junaedi surut setindak dan gantinya cukup memberi nasihat bijak: ‘'Ya sudah, besok jangan lewat jalan itu lagi,'' katanya.
Psikologi seperti Junaedi itulah yang kadang-kadang kita derita. Tak mudah menyalurkan perasaan terhina karena banyak sekali batasannya. Jika cuma batasan hukum, kita mudah menerimanya karena ia menghuni keadaan banyak orang. Tetapi jika keterbatasan itu berpusat pada diri sendiri ia akan menjelma jadi depresi. adakah anak-anak muda yang brutal ini pemberani? Tidak. Mereka butuh menabung keberaniannya bertahun-tahun. Itulah tabungan yang setorannya adalah akumulasi hinaan yang berlangsung setiap hari. Jika anak-anak ini bicara, cuma disambut gelak tawa sekitarnya karena bahasa inggris mereka yang dianggap aneh. Ketika bicara cuma menjadi tertawaan, diam adalah sebuah pilihan. Diam sepanjang hayat sambil memendam kemarahan itulah yang memupuk nyali untuk membunuh. Dan nyali itu tak bisa begitu saja disetarakan dengan keberanian karena setelah penembakan itu, mereka mengerti kalkulasinya. Mereka memilih bunuh diri katimbang menghadapi kenyataan.
Begitu berat hidup ini jika setiap kali harus menanggung hinaan. Padahal sulit sama sekali menghindari perasaan terhina itu karena jumlahnya banyak sekali, baik yang datang dari orang lain maupun yang datang dari diri sendiri. Hinaan dari pihak lain jelas sumbernya: para pendengki. Tak sulit mencari siapa pendengki karena naluri itu juga bersemayam di dalam diri kita sendiri. Juga tak sulit menemukan sumber hinaan dari diri sendiri. Karena semakin lemah kedudukan kita, kekuatan orang lain akan terasa sebagai derita. Semakin gagal diri sendiri, semakin terhina kita setiap melihat sukses tetangga.
Jadi, pada dasarnya, sulit sekali menghindari dari persaan terhina itu karena ia bisa datang kapan saja dan menyerang siapa saja, baik yang tidak maupun yang disengaja. Maka hidup ini boleh terhina, asal kadang-kadang belaka. Sekali terhina saja sakitnya luar biasa. Ada yang cuma sekali tapi kesumatnya terbawa mati. Apalagi jika hinaan itu datang berkali-kali. Apalagi jika bukan cuma berkali-kali tetapi terhina itulah selalu kedudukannya. Bisa dibayangkan, betapa kalau bisa, ia tidak cuma akan menembaki siapa saja tapi kalau perlu akan menumpas seluruh isi dunia. Benci dan kemarahan itu, jika sudah menyala, tak jelas di mana tepinya.
Begitu berbahaya keadaan terhina itu sehingga penting sekali mengurangi jumlah penyebabnya. Padahal penyebab itu kadang remeh dan tidak pula kita sengaja, misalnya: jika Anda memasak dan tetangga kebagian cuma uapnya.