Tekadnya sebagai politisi ingin berjuang dan mengabdi menyejahterakan rakyat. Anggota MPR RI 2003-2004 ini berhasil meraih kursi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Sumatera Utara periode 2004-2009.
Dia dinominasikan menjadi Wakil Ketua DPD. Namun dalam pemilihan dia hanya berada dalam posisi kedua dengan meraih 25 suara, diungguli Irman Gusman yang meraih 50 suara. Calon lainnya, Kasmir Tri Putra (23 suara), Malik Raden (14 suara), Bambang Suroso (delapan suara), dan Mediati Hafni Hanum (satu suara). Sementara mewakili wilayah timur, terpilih La Ode Ida.
Sebagai anggota DPD dia konsisten bersikap netral menghadapi Pemilu Presiden. Nurdin menegaskan hal itu usai bertatap muka dengan Megawati Soekarnoputri, calon presiden dari empat partai besar anggota Koalisi Kebangsaan pada Rabu, 25 Agustus 2004 di kediaman Megawati Jalan Teuku Umar 27-A, Menteng, Jakarta.
Dia pun kini dinominasikan berbagai kalangan akan terpilih menjadi Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mewakili wilayah Barat sekaligus keterwakilan golongan yang mencerminkan pluralisme. Dia memang dikenal seorang yang berjiwa kebangsan dan diterima semua golongan.
Pengusaha sukses pendiri, pemilik, sekaligus chairman & chief executive officer berbagai perusahaan yang tergabung dalam Grup Sonvaldy, ini mulai menampakkan kegesitan meraih sukses semenjak mengundurkan diri dari ikatan dinas di PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), di Kuala Tanjung, Asahan, Sumatera Utara di awal tahun 1980-an.
Dia dengan berat hati meninggalkan Inalum, perusahaan patungan Pemerin-tah RI-Jepang yang pernah memberinya kesempatan beasiswa Association Overseas Technical Scholarships (AOTS) Jepang, untuk memperdalam ilmu bidang Electro Mechanical Engineering & Metallurgi selama 15 bulan, ditambah masa bekerja setahun di Sumitomo, Jepang. Anak “Siantar Men” ini mengundurkan diri hanya untuk membuktikan bahwa dia mempunyai kemampuan dan kapasitas lebih serta sanggup bersaing di pasaran.
Tujuannya adalah Jakarta. Jakarta atau Bandung yang mempunyai perguruan tinggi ternama Universitas Indonesia (UI) Jakarta dan Institut Teknologi Bandung (ITB), adalah dua kota rantau idaman Nurdin yang pernah tertunda sebelumnya. Ketika tamat SMA ayahnya, Umar Tampubolon tidak mengijinkannya mengambil kuliah kesarjanaan kecuali setingkat akademi, itupun Akedemi Tekstil di kota Medan.
Alasan ayahnya yang hidup dari bertani dan mengelola sebuah pabrik padi di Siabal-abal, masih ada kakak dan abang Nurdin berstatus mahasis-wa membutuhkan biaya besar. Nurdin, anak ketiga dari sepuluh bersaudara -yang di kemudian hari ke-10 anak bersaudara itu menamatkan pendidikan hingga tingkat sarjana semua, merasa “dipaksa” masuk akademi agar cepat selesai dan langsung bekerja.
Dalam batinnya timbul “pemberontakan”. Sebab dalam keyakinan hati dia merasa mempunyai kesanggupan bersaing memasuki UI Jakarta atau ITB Bandung. Maklum, sepanjang Sekolah Dasar, SMP dan SMA dia selalu juara-juara umum tingkat sekolah. Semenjak SMP minatnya akan soal-soal keteknikan dan teknologi sudah mulai bersemai.
Tanpa sepengetahuan keluarga apalagi ayahnya dia mendaftarkan diri ke Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara (FT-USU), Medan, dan diterima. Menginjak kuliah tahun ketiga dia sudah sanggup membiayai sendiri hidup dan perkuliahan dari hasil mem-berikan les dan bimbingan tes di berba-gai tempat. Bahkan, di FT-USU dia diangkat Ketua Bimbingan Tes FT-USU.
Menjelang akhir studi yang sudah empat setengah tahun dijalani masih menyisakan satu tugas akhir, dia memperoleh kesempatan beasiswa dari AOTS Jepang dan bekerja di Sumitomo. Berdasar ikatan dinas, dia harus bekerja di Inalum sepulang dari Jepang di tahun 1981. Kesempatan bekerja di kawasan Sumatera Utara itu dimanfaatkannya untuk menyeselaikan kuliah agar paripurna memperoleh gelar sarjana teknik atau insinyur.
Di Inalum dia sangat disenangi teman-temannya. Nama dia tercatat sebagai salah seorang karyawan pertama bagian produksi yang bekerja di industri peleburan aluminium terbesar di Asia Tenggara, yang baru beroperasi di Kuala Tanjung awal tahun 1980-an itu. “Produksi aluminium pertama Inalum, saya yang kerjakan,” kata-nya bangga. Dia, selain memper-oleh gaji yang relatif cukup besar untuk seorang lajang, Rp 500.000 perbulan ketika itu, ditambah fasilitas rumah dan mobil berikut supir. Tetapi dia meninggalkan semua kemewahan itu sebab merasa belum menemukan cita-cita ideal yang sesungguhnya bisa dicapainya berdasarkan kemampuan dan skill yang dimiliki.
Nurdin mengajukan surat pengunduran diri. “Bos, dan anak buah saya di Inalum waktu saya keluar menangis semua,” kenangnya lagi. “Karena, saya juga kadang-kadang terlalu berani mengambil keputusan.” Konsekuensi mundur adalah dia harus mengganti semua biaya beasiswa yang pernah diterimanya selama di Jepang. Namun, tabungan yang terkuras itu telah berganti dengan selembar surat pengalaman kerja dari PT Inalum yang merekomendasikan dia sebagai karyawan yang “memuaskan”.
Pegawai Negeri
Keputusan berani itulah yang membulatkan tekadnya untuk mencoba menaklukkan rimba Jakarta. Dan sikap itu pula yang mewarnai kehidupannya di kemudian hari. Hari-hari awal di Jakarta diisinya dengan membaca koran, memicingkan mata terhadap setiap bunyi iklan lowongan kerja, lalu mengirim surat lamaran ke berbagai instansi.
Sebuah perusahaan kontraktor, konsultan, dan engineering swasta yang merupakan rekanan Pertamina memanggilnya untuk tes, lalu diterima. Di kemudian hari diketahui perusahaan itu PT Astenica adalah milik Grup Salim.
Dua tahun di sana dirasakannya cukup enjoy bekerja. Akan tetapi, lagi-lagi itu harus ditinggalkan untuk “sekadar” memuaskan permintaan orangtua yang sejak lama menginginkannya harus menjadi pegawai negeri. Kembali, bukti bahwa dia mempunyai track records yang bagus, tuturnya, “Bos saya di Salim juga merasa kehilangan.”
Dia lalu mengajukan lamaran ke berbagai institusi pemerintah dan mengikuti tes, seperti Departemen Pekerjaan Umum (PU), Departemen Pertambangan dan Energi (Deptamben), Perusahaan Listrik Negara (PLN), dan Bank Bumi Daya (BBD). Uniknya, semuanya bersedia menerimanya sebagai pegawai. Karena harus memutuskan salah satu maka dia pilah-pilah. Di PU dia tolak padahal sudah harus berangkat ke Sorong, Irian Jaya sebab tiket dan segala macam fasilitas sudah disediakan. Di kepalanya masih terngiang kuat keinginan menaklukkan rimba Jakarta.
Dengan alasan sama tidak bersedia tugas ke luar kota panggilan dari PLN pun ditolaknya. Pilihan akhirnya jatuh ke Deptamben dengan pertimbangan sebab dia akan bisa bekerja sampingan untuk memanfaatkan potensi maksimal yang dimiliki. Bank Bumi Daya sebelumnya juga ditolak sebab jadwal kerja perbankan tidak memungkinkannya untuk melakukan pekerjaan sampingan.
Di Deptamben dia dimasukkan di Bagian Perencanaan Program, Direktorat Jenderal Listrik dan Pengembangan Energi (LPE). Dia mulai mengikuti prajabatan tahun 1984. Hanya dalam tempo satu tahun dia langsung dipromosikan menjadi pejabat Kepala Seksi Evaluasi Pembangunan dan Perencanaan Kelistrikan Nasional, Ditjen LPE, golongan III-C dan pangkat Eselon-IV. Sehingga, untuk memenuhi persyaratan adminitratif kepegawaian pejabat kepala seksi setiap dua tahun sekali golongan dan kepangkatannya dinaikkan oleh atasannya.
Beberapa kesempatan training ke luar negeri dijalani. Seperti selama lima bulan ke Italia mengikuti pelatihan UNDP (United Nation Development Program). Romantisme perjalanan hidup di Italia ditorehkannya dengan memberi anak keduanya nama Valentino. Lengkapnya Dimpos Diarto Valentino Tampubolon lahir ketika dia sedang berada di Italia.
Sambil bekerja sebagai pegawai Deptamben dia memanfaatkan waktu luang mengajar atau menjadi dosen di Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) Jakarta maupun UPN Veteran. Termasuk sebagai pekerja paruh waktu di sebuah perusahaan swasta milik Yudo Sugama, anak Kabakin ketika itu Yoga Sugama. Dengan segala kesibukan dan prestasi yang diraih batinnya kembali mulai berbisik, “Saya merasa, kayaknya saya bisa bersaing di luar.”
Semua menjadi berbalik ketika di tahun 1988 dia memutuskan mengundurkan diri dari Deptamben. Peristiwa ini dirasakannya sangat berat sebab banyak tantangan. Dari keluarga, sahabat, dan sesama kolega termasuk atasan di Deptamben yang masih menawarkan fasilitas dan program menggiurkan agar betah bekerja dan tidak jadi keluar.
Bukan hanya menertawakan, ada pula yang menganggap dia ‘sudah lari uratnya’. Opini di lingkungan keluarga mulai terbentuk, ‘orang berani menyogok besar-besar asal masuk menjadi pegawai negeri. Ini, malah ditinggalkan’. Ayahnya terbang dari Medan hanya untuk mengadakan rapat keluarga membahas dan mempertanyakan keputusan terbaru Nurdin.
Istrinya sendiri, Berliana br. Tobing termasuk yang tidak setuju. Dalam dialog diantara keduanya. “Ini, apalagi yang mau dicari. Sudah kepala seksi, golongan III-C, masih muda, kok, ditinggalkan. Orang berlomba menjadi pegawai negeri, bahkan menyogok pun mau, kenapa Anda tinggalkan,” gugat istrinya yang ketika itu telah memberinya tiga orang anak. “That’s way my way, saya harus coba dulu di luar. Saya melihat di pegawai negeri begitu-begitu saja. Jadi, saya coba dulu berusaha” elaknya singkat. “Tapi, kerjaan ‘kan belum ada,”. “Yah, kita berusahalah bagaimana caranya.” Dialog malam itu berakhir putus dengan kesepakatan bahwa keduanya sama-sama tidak sepakat.
Nurdin meyakinkan diri sendiri bahwa dia mampu membangun usaha. Dia lalu mulai membangun bisnis. Pilihannya jatuh ke bisnis berbasis teknologi canggih atau hi-tech (high technology). Pengalaman bekerja di Inalum menangani aluminium membuat ilmunya merasa pas di situ, terutama saat bekerjasama sebagai mitra PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), kini PT Dirgantara Indonesia (DI). Industri pesawat terbang ini menggunakan banyak material aluminium.
“Jadi, saya pilih di sana, kebetulan cocok,” cetusnya. Bendera usaha yang dibangunnya adalah PT Sonvaldy Utama Permata. Sonvaldy, singkatan tiga nama anak pertamanya. Son dari anak pertama Sondang, Val dari anak kedua Valentino yang lengkapnya Dimpos Diarto Valentino, dan Dy dari nama anak ketiga Randy. Sementara kata Utama Permata adalah terjemahan dari konsep orang Batak tentang anak dimana anak adalah segala-galanya atau, anakhonki do hamoraon di ahu.
Demi Rakyat
Sonvaldy Utama Permata kini berubah menjadi holding company setelah berhasil melahirkan berbagai anak perusahaan baru. Cakupan usaha beraneka ragam dari hi-tech, perdagangan, hingga perkebunan kelapa sawit dan perkayuan. “Sampai sekarang perkebunan kita sudah luas,” katanya ringkas.
“Dan, karena saya melihat, dari segi perusahaan juga sudah mulai berkembang, maka, saya inginnya sekarang bagaimana mensejahterakan masyarakat banyak. Itulah target utama saya sekarang, kalau masih diperlukan,” cetus mantan kandidat calon gubernur Sumatera Utara pada pemilihan 2003.
Mensejahterakan masyarakat. Itu sudah dimulai Nuridn dari perusahaan yang kini telah menghidupi ribuan orang karyawan, belum termasuk anggota keluarga karyawan. Konsep mensejahterakan rakyat itu dirumuskannya menjadi visi perusahaan. Visi Sonvaldy, menurutnya, harus menjadi perusahaan yang bisa dibanggakan oleh bangsa. Dan, bersamaan itu Sonvaldy juga harus bisa memperoleh pengakuan internasional. Dalam desainnya perusahaan ini harus bisa menyumbang devisa, menampung tenaga kerja, membayar pajak ke pemerintah, dan mampu mengekspor produk-produk yang dihasilkan.
Ikhtiar Nurdin menyejahterakan masyarakat tidak berhenti di situ. Bermodalkan track records sebagai pengusaha sukses yang telah menghasilkan karya nyata dalam proses pembangunan bangsa, dia mulai memasuki area publik yang lebih luas. Sejak Desember 2003 dia adalah anggota MPR RI mewakili propinsi Sumatera Utara.
Di awal tahun 2003 atas saran dan permintaan teman-temannya sesama alumni FT-USU dia mencalonkan diri sebagai Gubernur Sumatera Utara periode 2003-2008, sayang belum berkesempatan terpilih. Nurdin adalah Ketua Ikatan Alumni FT-USU se Jabotabek.
Walau demikian dia tetap berikhtiar mensejahterakan masyarakat banyak, terutama rakyat Sumatera Utara. Dia semakin intens memasuki wilayah politik. Pada Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif 5 April 2004, sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dia muncul dengan jargon menarik: Pembangunan dari Rakyat, oleh Rakyat, dan untuk Rakyat. Hasilnya adalah kemenangan suara terbesar kedua.
Nurdin ingin agar pembangunan kokoh maka harus berbasis sumberdaya lokal. Artinya, memanfaatkan segala sesuatu yang memang dimiliki oleh masyarakat Sumatera Utara. Seperti, basis pertanian dan pariwisata. Yang melaksanakan pembangunan harus pula orang lokal yaitu masyarakat yang ada di Sumatera Utara.
“Dengan demikian, tujuan pembangunan yaitu menjadikan masyarakat Sumatera Utara aman sejahtera dan tuan rumah di negerinya sendiri, menjadi bisa tercapai,” ujar penerima gelar doktor kehormatan (honoris causa) dari sebuah perguruan tinggi dari Amerika Serikat tahun 1999. Sebelumnya, Desember 1997 pengagum Presiden Amerika Serikat George W Bush dan Presiden RRC Xu Rongji memperoleh penghargaan sebagai ASEAN Development Citra Awards dari ASEAN Programme Consultant Indonesia Consortium
Strategi Pembagunan Berbasis Sumberdaya Lokal
Untuk mengetahui lebih lengkap visi dan misi pengabdiannya membangun Sumatera Utara demi mensejahterakan masyarakat banyak, berikut petikan wawancara TokohIndonesia.Com dengan DR. Ir. Nurdin Tampubolon, Chairman & CEO Sonvaldy Group, di suatu malam di kantornya di Jalan Cempaka Putih Timur Raya No. 5, Jakarta Pusat.
Anda adalah anggota MPR RI mewakili Sumatera Utara. Apa saran Anda untuk pembangunan di Sumatera Utara?
Kita sarankan ke Pemda hingga ke tingkat bawah, bahwa prioritas pembangunan harus melaksanakan pembangunan di segala bidang. Pertama, pembangunan di bidang ekonomi haruslah meningkatkan perekonomian masyarakat, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan meningkatkan taraf hidup mereka secara berkelanjutan.
Kemudian kedua, pembangunan di bidang sosial budaya harus betul-betul menjadi prioritas pula mengingat Sumatera Utara terdiri beragam suku. Begitu plural sehingga kita harus hidup harmonis dalam keberagaman, harus saling menghormati, saling menghargai dan menyatu supaya kehidupan di Sumatera Utara betul-betul kondusif. Ketiga, membangun keamanan dan stabilitas karena hanya di tempat yang stabilitasnya terjaga kita bisa melaksanakan pembangunan. Tiga aspek ini harus ditangani pemerintah secara serius.
Anggota Dewan dan Eksekutif di Sumatera Utara mulai menuntut agar BUMN turut berpartisipasi membantu pembangunan, apakah itu juga masuk dalam program Anda?
Itu salah satu. Tetapi yang terpenting yang akan kita tuju adalah, bahwa pembangunan itu harus kita jalankan berbasis pada sumberdaya lokal. Jadi, sebelum membuat konsep pembangunan kita harus melihat dahulu apa saja kendala yang ada di Sumatera Utara, apa nilai plus dan minusnya, dan apa rencana ke depan.
Sumberdaya lokal yang dimiliki rakyat, itulah yang akan kita kembangkan. Karena itu, saya sebut “Pembangunan dari Rakyat, oleh Rakyat, dan untuk Rakyat”. Dari rakyat maksudnya, apa saja sumberdaya lokal yang dimiliki oleh rakyat, misalnya pertanian, pariwisata dan lain-lain. Oleh rakyat maksudnya, harus rakyat itu sendiri yang melaksanakan pembangunan bukan orang luar. Kemudian, untuk rakyat maksudnya bahwa hasil pembangunan itu ditujukan untuk kemakmuran rakyat.
Lalu, apa saja strategi Anda untuk menjalankan pembangunan yang berbasis pada kerakyatan tersebut?
Strategi pembagunan yang berbasis sumberdaya lokal adalah dengan mengembangkan agrobisnis dan agroindustri. Hanya itulah yang dimiliki oleh rakyat Sumatera Utara, selain pariwisata. Karena, kita juga mempunyai Danau Toba, Berastagi, Nias, dan Pantai Cermin.
Pemerintah, saran saya harus membuat Segilima Emas Pariwisata di Sumatera Utara. Mulai dari, pertama Tanah Karo, kedua Parapat, ketiga Samosi, keempat Nias, dan kelima kembali ke Pantai Cermin. Kalau ini dibangun, maka, tidak ada lagi perbedaan kita dengan kondisi pariwisata di Hawai, Amerika Serikat, atau di Perancis Selatan. Semua Segilima Emas itu akan mendatangkan devisa yang besar ke Sumatera Utara karena kita kaya akan pariwisata.
Dari segi agroindustri kita mempunyai sumberdaya lahan dan manusia. Jika itu dibangun, maka sumberdaya manusia Sumatera Utara yang ada di luar akan kembali sebab telah tersedia lapangan kerja. Kita menjadi bisa mengekspor beras, sayur-sayuran, buah-buahan, dan lain-lain.
Agar bisa mengakomodasi konsep pembangunan tersebut, menurut Anda, seperti apa tipe pemimpin yang dibutuhkan di situ?
Yang kita butuhkan adalah pemimpin yang mempunyai kapabilitas membangun, mempunyai visi dan misi ekonomi yang bagus, dan yang terpenting dia harus sudah mempunyai experience atau pengalaman dalam pembangunan.
Kemudian, dia juga harus benar-benar acceptable sebab masyarakat Sumatera Utara sangat plural. Selain itu dibutuhkan pemimpin yang harus keras dan fleksibel sebab umumnya masyarakat Indonesia, demikian pula Sumatera Utara masih berpendidikan rendah. Artinya, hukum belum betul-betul bisa diikuti dengan bagus.
Apakah menurut Anda pemimpin itu tidak perlu mampu memberantas KKN atau Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme?
Oh… harus. Pemimpin itu juga harus bisa memberantas KKN. Korupsi harus diberantas dengan clean government, pemerintahan yang bersih; Kolusi dilawan dengan transparansi, keterbukaan; Dan nepotisme dilawan dengan profesionalisme.
Untuk bisa mencapainya, publik harus bisa melaksanakan pengawasan terhadap pemerintah. Jadi, pemerintah harus membuat public control yang melibatkan publik, dunia pendidikan, pers, dan LSM. Jika nanti masih ada korupsi maka publik langsung membukanya agar timbul budaya malu. Dengan demikian tidak akan terjadi lagi KKN, atau hingga seminimal mungkin.
Menurut Anda, mana rekrutmen politik terbaik untuk bisa menemukan pemimpin yang diidamkan tersebut?
Selama ini rekrutmen politik yang ada Sumatera Utara lebih cenderung karena pemimpin itu mempunyai jalur premanisme, ikatan pemuda, dan lain-lain. Rekrutmen itu tidak didasarkan pada segi kemampuan pembangunan. Padahal, yang bisa merasakan pembangunan umumnya adalah orang yang sudah pernah bergelut di bidang pembangunan.
Di Amerika Serikat, contohnya, mereka memilih Senator atau Presiden adalah bekas pengusaha karena dia sudah larut dan inheren dalam proses itu. Bagaimana mungkin saya sebagai birokrat, misalnya, bisa mengadakan negosiasi dengan CEO sebuah perusahaan raksasa kelas multinasional, imposibel itu. Atau, bagaimana negosiasi seorang jenderal dengan seorang pengusaha, kan tidak kena. Jadi, seorang leader gubernur atau presiden haruslah orang yang pernah melakukan pembangunan sebab dia telah merasakan sehingga kena dia.
Bisakah Anda ulangi dan pertegas lagi, deskripsi dan makna Pembangunan dari Rakyat, oleh Rakyat, dan untuk Rakyat yang Anda maksud?
Begini. Pembangunan berbasis sumberdaya lokal artinya, sumberdaya apa yang dimiliki rakyat di suatu daerah itulah yang dibangun. Yang membangun adalah rakyat itu sendiri, dan hasilnya ditujukan kepada mereka. Faktor eksternalnya, pemerintah hanya sebagai to steer not to row, tidak melaksanakan. Pemerintah tinggal memberitahu bagaimana cara bekerja yang lebih efisien, efektif, dan produktif. Pemerintah bersama dunia usaha sifatnya hanya membantu agar rakyat bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.
Misal sumberdaya lokal Sumatera Utara adalah pertanian: bagaimana cara bertani yang benar agar produksi bagus dan berdaya saing global. Artinya, produktivitas mereka haruslah sama dengan produktivitas di Thailand, Israel, Malaysia, Vietnam, maupun negara agraris lain. Standar itu harus dibentuk. Pemerintah harus menyiapkan fasilitas agar produktivitas rakyat sama seperti di luar negeri.
Seperti, menyiapkan sumber informasi manajemen system tentang pengolahan pertanian. Lalu, menyiapkan sentra-sentra atau Kapet-Kapet (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu) untuk memasarkan produk pertanian, sehingga produk itu harganya tinggi dan berdaya saing global. Dengan demikian rakyat dirangsang untuk berproduksi sebab tidak akan ada lagi kesulitan menjual produk. Di sisi lain mulai terbangun suatu sistem yaitu suatu sistem yang produksi
Kendalanya sekarang, bagaimana mungkin rakyat bisa berproduksi jika pengairan saja tidak dibangun oleh pemerintah. Rakyat, saat menjual produk pun masih dengan sistem tengkulak. Sebab, meski rakyat punya lahan kopi tapi mereka tak bisa menjualnya karena pemerintah tidak mau tahu dengan penyakit mereka, tidak mau tahu dengan kesulitan yang rakyat alami. Kalau pemerintah memfasilitasi pemasaran, tekonologi produksi, hingga sumber pembiayaan atau financingnya saya yakin rakyat akan berproduksi optimal.
Tentang pembangunan Segilima Emas Pariwisata itu, selama ini hal tersebut justru terabaikan padahal potensial menghasilkan devisa, pendapat Anda?
Sumberdaya lain Sumatera Utara adalah pariwisata. Tentang segilima emas tadi, begitu wisatawan asing maupun domestik tiba di Medan langsung dibawa ke Berastagi. Dari Berastagi dibawa lagi ke Parapat, dari Parapat dibawa ke Samosir, dari Samosir dibawa naik pesawat ke Nias, dari Nias dibawa lagi ke Pantai Cermin, dan dari Pantai Cermin wisatawan itu pulang ke mana dia mau atau ke negara asalnya.
Apakah itu mungkin, mengingat di Sumatera Utara waktu berkunjung wisatawan rata-rata rendah, atau, bagaimana menurut Anda cara untuk menaikkannya?
Hal itu terjadi karena belum tersedia fasilitas pariwisata di Sumatera Utara. Wisatawan itu, dari Berastagi dia kembali lagi ke Medan sebab Berastagi tidak difasilitasi aroma pariwisata seperti hotel, masakan, dan hiburan tidak punya.
Kemudian, akses dari satu tempat pariwisata ke tempat lainnya tidak professional. Wisatawan itu sendiri yang harus mencari tahu bagaimana jalan ke Parapat, misalnya, sebab tidak ada organism tourist. Pun, masyarakat sekitar lokasi wisata tidak ernah berpikir bagaimana agar wisatawan lebih betah lama tinggal di Sumatera Utara sehingga duitnya ikut tinggal di sana.
Jadi, karena tidak ada akses antar lokasi wisata, fasilitas wisata yang terbatas, dan masyarakat yang bukan masyarakat pariwisata sebab head attitude atau tabiat mereka bukan masyarakat wisata, maka, akibatnya wisatawan merasa asing berada di situ. Untuk itulah perlu dibangun sentra wisata segilima emas, lalu dipromosikan ke dalam maupun luar negeri, dan saya yakin kita akan mendapatkan devisa yang besar untuk Sumatera Utara.
Jika di Sumatera Utara dalam sebulan saja terdapat 100.000 wisatawan asing, yang menghabiskan uang rata-rata 500 dolar AS dalam 10 hari perjalanan, padahal angka itu masih terlalu kecil menurut saya, maka, hasilnya adalah memperoleh devisa 50 juta dolar AS atau Rp 500 miliar setiap bulan. Agar wisatawan bisa bertahan lebih lama harus diciptakan suasana segilima emas: kalau belum mengunjungi lima point-point segilima emas maka rasanya belum puas berkunjung ke Sumatera Utara.
Jadi, kalau wisatawan itu satu hari saja di Tanah Karo, dua hari di Parapat, dua hari di Samosir, tiga hari di Nias sebab Nias adalah tempat berselancar terbaik kedua di dunia, satu hari di Pantai Cermin, itu semua sudah mencapai 10 hari. Nilai tambah lain bagi masyarakat daerah wisata adalah pembelian souvenir, hotel, makanan dan lain-lain yang akan sangat signifikan terhadap perekonomian Sumatera Utara. Seperti di Perancis selatan, kebetulan saya sudah pernah ke sana, mulai dari Toulose, ke Nice, hingga Monaco dan segala macam orang bisa betah di sana sampai 20 hari berlibur. Padahal, panorama Sumatera Utara masih jauh lebih bagus dibanding Perancis.
Adakah mekanisme yang baik untuk mewujudkan Segilima Emas Pariwisata dimaksud?
Sumatera Utara kalau dibangun secara benar dan KKN diminimalkan penghasilannya besar. Sebab kita mempunyai BUMN seperti perkebunan, pertambangan, tenaga listrik, dan lain-lain. Itu sangat besar. Kalau pemerintah mempunyai rencana, sebagian dana dari pendapatan itu bisa dialokasikan untuk membangun pariwisata secara bertahap. Saya kira itu tidak akan menjadi masalah.
Pemerintah Daerah bisa membentuk BUMN baru sebagai pengelola pariwisata Sumatera Utara. Atau, pemerintah membuat suatu rencana masterplan pariwisata, ditawarkan ke investor untuk membangun fasilitas wisata yang dibutuhkan. Kepada investor itu Pemerintah memberikan fasilitas untuk mempermudahnya melakukan pembangunan, misalnya kemudahan perizinan, pajak, akses terhadap jalan yang akan dibangun, ketersediaan lahan, menciptakan iklim yang kondusif, serta dibantu pinjaman dari Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara (BPDSU).
**********************
Pertanian Indonesia yang tertinggal sering diperbandingkan dengan Thailand. Dimana letak permasalahan yang sesungguhnya?
Pendapatan Thailand dari agroindustri sangat besar. Mereka terbesar di Asia Tenggara. Tetapi jangan silap, pendapatan itu lebih besar disumbang oleh pariwisata. Jadi, kalau pendapatan pertanian Thailand dari agroindustri 100, maka sumbangan pariwisatanya adalah 70. Ada jutaan wisatawan yang masuk ke Thailand setiap tahun. Masyarakat mereka juga sudah memiliki budaya wisata yang pas. Agroindustrinya sudah tidak lagi dibina oleh pemerintah, melainkan oleh masyarakat langsung. Tapi, subsidi dan pemasaran masih oleh pemerintah.
Bukankah adalah fakta, bahwa tingkat produktivitas lahan Sumatera Utara sangat rendah?
Karena itulah mari kita kembali ke sikap awal, memberdayakan masyarakat lokal untuk meningkatkan kersejahteraan agar mereka aman sejahtera dan tuan di negeri sendiri. Yang pertama-tama harus dilakukan adalah men-justifikasi apa saja permasalahan di daerah-daerah. Permasalahan di masing-masing daerah berbeda dengan daerah lain. Kemudian carikan jalan keluarnya.
Kalau masalahnya adalah tidak ada sumber air tapi memiliki lahan pertanian, maka segera bangun irigasi agar bisa melayani rakyat. Kalau rakyat kesulitan memasarkan produk maka pemerintah harus membelinya, lalu jual, atau buka sentra-sentra ekspor maupun pasar lokal supaya produk rakyat itu terpasarkan. Kalau iklim tidak kondusif karena perbedaan budaya ‘a’ dengan budaya ‘b’ sehingga tidak bisa berproduksi secara kompak, itu juga harus diselesaikan. Pembangunan sosial budaya diperlukan agar kita bisa hidup harmonis dalam segala keberagaman yang ada.
Jadi pecahkan permasalahan mereka: apa yang membuat mereka tidak berproduksi, atau mengapa produktivitasnya rendah. Kalau teknologi bercocok tanam atau bibit yang tidak cocok, pemerintah harus segera mencari tahu bibit dan teknologi apa yang tepat untuk mereka. Jangan pula teknologi mengurangi kerajinan atau menciptakan pengangguran baru. Penggunaan teknologi haruslah membantu kerajinan agar mereka lebih efektif, efisien, produktif, dan tidak bertentangan dengan budaya lokal. Kita inginkan teknologi yang semakin menguatkan budaya supaya warnanya tetap Sumatera Utara.
Lalu, apa sih perbedaan mendasar antara produktivitas kita dengan Thailand?
Jika produktivitas lahan kita saat ini masih empat ton padi sementara Thailand sudah delapan hingga sepuluh ton, saya percaya lahan kita bisa produktif seperti Thailand. Sebab, apa bedanya lahan kita dengan mereka toh sama-sama tanah. Cuma, rakyat di sana sudah dirancang untuk berproduksi. Petani Thailand bisa membeli mobil dari hasil pertanahannya, sekolahkan anak, makan di restoran, liburan segala macam. Dia akan merasa rugi jika tidak mengusahakan tanahnya.
Kita tidak bisa berproduksi optimal karena kendala-kendala tadi. Support dari pertaniannya tidak ada, demikian pula support dari pemasaran. Contoh, di Tarutang ada kopi namanya “Kopi Sigarar Utang” harganya rendah sekali. Kalaupun dipanen, biaya panen sudah lebih mahal dari harga kopi, karena tengkulak-tengkulak sudah menunggu. Akhirnya mereka menghentikan penanamannya.
Mungkin masih ada ketidaksamaan paham antara masyarakat dan pemerintah dalam hal ini?
Rakyat dan pemerintah harus satu, persepsi harus sama: apa yang dimiliki pemerintah, apa yang dimiliki rakyat digabung bersama-sama untuk menciptakan produk yang berdaya saing global, berdaya saing tinggi, dan dengan harga tinggi pula.
Harga kol satu kilo di tanah Karo mungkin hanya Rp 100, tetapi di Singapura sudah 5 dolar. Saat ini kol masyarakat lebih baik busuk karena pemasarannya tidak tersistem. Jadi, dia berproduksi, pasarkan sendiri, bawa ke Medan, sampai di sana sudah busuk. Atau, pemasaran tidak tersistem sengaja diciptakan oleh saingan sehingga kol-kol mereka busuk. Kasihan rakyat yang disana.
Jika dilihat di Thailand, sistem mereka sudah dibangun dengan basis ekonomi rakyat atau sumberdaya lokal. Petaninya tinggal berproduksi, pemasaran bukan urusan mereka. Teknologi atau sumber informasi dihadirkan untuk menciptakan produktivitas tinggi. Lahan satu hektar di Indonesia hanya bisa menghasilkan empat ton padi padahal Thailand sudah sepuluh ton.
Dengan effort yang sama saya bisa mendapat empat ton sementara di Thailand sepuluh ton, berarti saya menjual empat ton padi dengan harga sepuluh ton, ‘kan sudah sangat berbeda, ada delta di sana. Kemudian, di sisi lain Thailand tidak sulit memasarkan. Dari produktivitas dia sudah memperoleh keuntungan besar. Kalau di sana harga Rp 2.800/kg untuk sepuluh ton dia sudah dapat Rp 28 juta, sementara saya yang empat ton hanya dapat uang Rp 10 juta kalau harganya Rp 2.500/kg.
Produk agroindustri Thailand seperti jambu, durian, pepaya dan segala macam dari satu lahan yang sama produktivitas dan kualitasnya juga berbeda. Kenapa, karena asupan-asupan teknologi sudah sesuai dengan yang dibutuhkan tanaman. Tanaman berproduksi sudah sesuai dengan optimalisasi yang dimiliki yaitu lebih cepat berbuah, lebih besar, dan berkualitas bagus
Apakah pembangunan berbasis sumberdaya lokal ikut Anda agendakan saat mencalonkan diri sebagai Gubernur Sumatera Utara beberapa waktu yang lalu?
Iya, jelas, jelas makanya sampai di tahap akhir saya masih ikut bertarung walau ada permainan politik di situ. Masalahnya adalah saya bukan orang partai.
Agenda kita mensejahterakan rakyat hanya dengan cara itu, menghidupkan agroindustri dan agrobisnis karena rakyat kita 85 persen hidup dari pertanian atau pedesaan. Berarti pertanian itu yang harus dibangun. Sejarah pun menunjukkan nenek moyang kita dahulu sumber pendapatannya dari pertanian. Sekarang, bagaimana cara agar pertanian lebih efektif, lebih efisien, lebih cepat berproduksi dengan kualitas bagus. Itu yang harus dipikirkan oleh pemerintah. Pertanian adalah inti perekonomian kita.
Apa saja bentuk konkrit agenda Anda yang disampaikan ketika itu?
Kalau saya jadi gubernur, ketika itu saya katakan, sekolah-sekolah akan saya bangun dengan berbasis teknologi pertanian, kalau dia sekolah teknik. Kalau dia sekolah ekonomi, ekonomi pertanian. Atau, sekolah apapun dia akan diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pertanian dan pariwisata.
Kita harus lihat sepuluh, dua puluh, limapuluh hingga seratus dan limaratus tahun ke depan. Kalau kita gagal membangun teknologi pertanian di Indonesia maka kita akan semakin terpuruk. Sejarah menunjukkan, Thailand maju karena pertanian, Malaysia maju karena pertanian, Vietnam juga begitu. Negara maju seperti Inggris Perancis mereka maju karena pertaniannya maju, dari hasil pertanian itulah mereka membangun dan mengembangkan teknologi atau industri lain karena mereka sudah mempunyai duit, basis, based load. Tapi pertanian mereka tetap kuat sebagai basic.
Kenapa hasil industri pertanian luar lebih murah daripada hasil pertanian Indonesia, itu karena industri pertanian kita produktivitasnya sangat rendah dan berbiaya sangat tinggi. Kalaupun kita bersaing harga kita sudah terlalu mahal. Produk industri mereka masuk ke Indonesia lebih murah jadinya.
Belum lagi kita membuat over valued exchange rate, dimana kurs yang kita pakai ditetapkan oleh pemerintah sehingga over valued. Jadi kurs belum bebas bergerak sehingga ekspor kita menjadi terhambat. Produksi dalam negeri menjadi mahal sementara produksi luar lebih murah karena pemerintah harus bayar selisih kurs dolarnya. Kita menjadi negara yang membohongi produk kita sendiri. Selama zaman Orde Baru berlaku over valued exchange rate, pemerintah membayar untuk selisih kurs.
Ada persepsi di kalangan pemerintah maupun rakyat bahwa pertanian tidak mempunyai masa depan, komentar Anda?
Yah… sekarang ini kan pimpinan kita sedang sibuk dengan politik-politik-nya, sibuk dengan partainya, sibuk memperjuangkan golongannya, sibuk mempengaruhi rakyat dengan membagi-bagi duit melalui jaring pengaman sosial, raskin dan segala macam. Ini ‘kan hanya bahasa yang diperhalus untuk memikat hati rakyat. Tapi itu short therm, jangka pendek sekali untuk mempengaruhi rakyat supaya golongan inilah yang dikatakan bagus. Itu tidak murni memperjuangkan rakyat. Yang kita mau ‘kan berkelanjutan.
Masyarakat tidak diberikan suatu harapan yang pasti, misalnya melalui sejumlah pembinaan dan fasilitas, bahwa aktivitas produksi yang mereka lakukan akan bisa membiayai hidupnya yang lebih terjamin. Itu sebab, dari daerah pertanian semua berlomba ke kota. Sumberdaya manusia yang di desa, tanpa bermaksud mengecilkan mereka, adalah SDM yang kelas dua kelas tiga kelas empat. Padahal, yang bisa melakukan percepatan akselerasi needs atau kebutuhan mereka yang berjangka panjang adalah SDM yang berkualitas.
Ini harus diubah. Elit-elit politik harus mementingkan kepentingan rakyat, generasi penerus itu mau ke mana supaya bisa berdaya saing tinggi. Karena daya saing kita adalah daya saing global. Orang yang di Parongi sana bukan lagi berdaya saing dengan orang di Garoga, melainkan dengan orang di Malaysia, Thailand, Jepang.
Namun, kita juga harus sepakat bahwa kalau mau membangun maka semua harus dibenahi. Fasilitas dan gaji aparat pemerintah harus mencukupi. Kalau BUMN, perusahaan-perusahaan daerah, atau sumber-sumber penghasilan daerah dikelola dengan benar tanpa dikorupsi maka gaji dan insentif pegawai negeri akan bisa memberi mereka hidup yang cukup.
Jika itu telah terjadi, sistem pembangunan masyarakat pedesaan yang telah menemukan permasalahan, solusi berikut implementasinya bisa dilaksanakan. Langkah selanjutnya adalah menegakkan supremasi hukum. Pengawasan eksternal berupa pengawasan publik di semua tingkatan harus melibatkan LSM, dunia pendidikan, pers dan masyarakat. Jika masih ditemukan suatu penyelewengan maka publik langsung membuka kasusnya ke masyarakat untuk menimbulkan budaya malu. ‘Di sini ada korupsi Rp 100 juta’, atau Rp 10 juta, dibuka.
Untuk menjalankannya tentu dibutuhkan pemimpin yang bukan hanya berkualitas namun juga sudah berpengalaman dalam pembangunan. Syarat apa lagi yang dibutuhkan pemimpin di Sumatera Utara, menurut Anda?
Kendalanya sekarang, apakah bupati atau gubernur punya sense of business mengelola sumberdaya yang ada di daerahnya. Kalau dikatakan mereka mengerti, berarti sesungguhnya sudah harus tidak ada lagi di sana kecemburuan sosial atau pengangguran. Sebab, mereka sudah harus bisa mengalokasikan semua sumberdaya yang ada, yaitu manusia, alam, financing, penghasilan atau industri-industri dan pendapatan asli daerah (PAD) yang bisa mereka raup. Jika itu mereka optimalkan otomatis aspek bisnis yang ditumbuhkembangkan akan produktif.
Sekarang ada beberapa aspek yang harus kita soroti: apa penyebab perekonomian tidak bisa jalan. Ternyata, sebagai contoh, untuk menjadi bupati saja dia harus mengeluarkan uang miliaran rupiah, demikian pula untuk menjadi calon anggota legislatif (Caleg). Sehingga, setiap orang yang masuk ke sana sudah pasti mencari cara bagaimana mengembalikan uangnya itu.
Supaya misi pemerintahan betul-betul bisa diimplementasikan, aspek bisnis pemerintahan bisa jalan, maka orang yang masuk ke sana haruslah orang-orang yang tidak lagi mencari duit sehingga dia tidak perlu memikirkan korupsi. Kalau dia masuk ke dalam sana harus bayar Rp 50 milyar, atau dia titipan sponsor, maka dia harus kembalikan uang atau jasa sponsor tersebut.
Jika menjadi eksekutif harus mengeluarkan uang untuk mencari uang, konsep DPD bisakah menghapus fenomena tersebut?
Ini permasalahannya. Dan kalau ini bisa dieliminir secara perlahan-lahan akan menghasilkan suatu percepatan untuk pencapaian tujuan pembangunan. Produktivitas kita merendah paling banyak karena korupsi. Mereka tidak memikirkan apa yang diinginkan oleh rakyat. Apakah itu di pemerintahan kabupaten, propinsi, apakah mereka itu bupati, walikota, gubernur sebab mereka telah menganggap dirinya sebagai raja-raja kecil di daerah. Bukan menganggap dirinya melayani dan memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya.
Dengan adanya sistem DPD sekarang, maka seharusnyalah bisa diperoleh DPD yang mempunyai visi membangun, punya sense of business, dan sudah memiliki wawasan nasional dan internasional agar dia lebih mudah membawa daerahnya go nasional maupun go internasional. Dalam forum-forum tertentu dia bisa melihat apa yang menjadi kepentingan daerahnya. Tetapi kalau DPD yang dihasilkan masih tetap yang itu-itu maka hasilnya pun begitu-begitu saja. Sebab apa yang bisa dia buat. Ini permasalahannya yang membuat rakyat akan semakin pesimis. Dengan adanya DPD sedikit banyak pasti akan ada perubahan. Tapi apakah rakyat tahu siapa yang lebih pas didudukkan untuk mewakili daerahnya.
Apakah itu sesuai dengan isu yang pernah Anda lontarkan dahulu, bahwa calon gubernur atau pejabat publik haruslah orang yang sudah mapan secara ekonomi?
Memang, harus sudah begitu. Di Amerika Serikat tidak bisa seorang gubernur kalau dia miskin, atau tidak mempunyai karya nyata dalam membangun. Tidak bisa seorang rakyat biasa, kalaupun dia punya pengaruh sebagai pimpinan organisasi, tiba-tiba menjadi gubernur. Harus dia punya duit. Duitnya itulah yang dipakai untuk membangun daerahnya, bukan untuk korup.
Sebab seorang gubernur harus sudah siap untuk mengabdi kepada rakyat, bukan memperkaya diri. Demikian pula untuk DPD. Dipilihlah orang yang mempunyai integritas, visi membangun, benar-benar bisa membawa aspirasi rakyat dan memperjuangkannya untuk dilaksanakan oleh pemerintah.
Agenda Anda terdekat adalah bertarng berebut kursi DPD. Apa yang akan Anda lakukan kelak jika terpilih?
Kalau saya menjadi DPD saya akan membuat Tromol Pos pengaduan, misal namanya Nurdin Center. Setiap ada pengaduan masyarakat masukkan ke situ. Begitu saya baca langsung saya sampaikan ke publik. Jadi, minimal pemerintah tergelitik jangan macam-macam. DPD itu jangan jadi temannya pemerintah untuk korupsi, kolusi dan nepotisme. Kita harus benar-benar di rakyat, sebab kita adalah sparring partner pemerintah bukan teman untuk berkorupsi dan berkolusi. Kalau pemerintah salah dalam melaksanakan pembangunan, buka melalui Tromol Pos. Saya akan lakukan itu.
Itulah tugas DPD yang sebenarnya. Dan itu konstitusional. Kita juga tidak mau tidak konstitusional. Jangan pula kita disangka provokator. Tapi sepanjang kita memperjuangkan kepentingan rakyat, apapun akan kita hadapi. Kita tidak akan ngeper kalau kita sudah masuk ke dalam suatu sistem. Kita mau jujur, kalau kita dibutuhkan oleh rakyat maka kita harus bisa memperjuangkan apa yang mereka rasakan, dan apa yang mereka mau. Tapi rakyat itu harus juga fair. Artinya, jangan tidak pada jalur yang sebenarnya.
Jangan seperti DPR yang sebelumnya yang tidak menguasai tugas dan fungsinya karena mereka lebih melihat kepentingan pribadi dan golongan. Kalau golongan partainya bilang harus begini maka mereka harus ikut sehingga tidak konek dengan kebutuhan rakyat. Beda dengan DPD yang free, tidak dikomandoi oleh partai manapun. Yang bisa komandoi saya ya rakyat, ‘bapak sebagai wakil kami dari Sumut, kami punya kesulitan ini ini ini.’ Setelah itu kita terima maka sudah tidak ada lagi yang komandoi kita. Itu makanya saya tidak masu masuk DPR, dari dulu, karena bagaimanapun kita dikomandoi oleh partai.
Karena itu masyarakat harus diberi pemahaman mengenai siapa pilihannya yang tepat dan dimana mereka akan memilih. Karena ada semboyan yang mengatakan, seorang pengambil keputusan atau decision maker tidak pernah salah mengambil decision atau keputusan. Kalau dia salah mengambil keputusan maka sesungguhnya inputnyalah yang salah. Dengan adanya information system atau penyebaran informasi ke daerah-daerah, calon-calon DPD ini akan diapresiasi sebab informasi itu telah pas dan sesuai dengan kebutuhan mereka.
Sebagaimana masyarakat mengapresiasi pers, majalah-majalah, LSM dan perguruan tinggi sebab lembaga itu telah memberikan informasi yang pas buat merekat. Itulah sebabnya kita perlu membuat jaringan internet, website atau bentuk information system lainnya sehingga masyarakat tidak salah memilih. Ada comparison, perbandingan informasi si a, si b, si c yang akan mewakili mereka.
Sebagai anggota DPD nanti, konsep dan strategi apa yang akan Anda untuk membangun 25 kabupaten di Sumatera Utara?
Kalau kita wakil DPD maka kita harus menjalankan tugas dan fungsi yang diamanatkan kepada kita. Yang jelas kita harus bikin suatu sistem yang konek dengan rakyat dan menyentuh kepentingan mereka.
Kalau terpilih DPD saya akan bikin Nurdin Center atau Tampubolon Center di Medan dan di kabupaten-kabupaten. Di sana setiap informasi yang masuk kita olah, dicek kebenarannya, lalu kita bekerjasama dengan LSM, dunia pendidikan, pers segala macam untuk melihat bagaimana informasi yang masuk itu sebagai kebutuhan rakyat. Kita lalu akan buat kesimpulan, apa yang harus dilakukan.
Kita akan berbicara dan memberikan saran kepada pemerintah kabupaten, propinsi, dan pusat yang dibutuhkan rakyat sana adalah begini begini begini supaya mereka bisa hidup. Sentra-sentra itu akan kita buat informatif dan komunikatif. Harus ada informasi yang simbiosis mutualisme dari rakyat, ke kita, dan pemerintah. Itu tugas DPD: bagaimana dia bisa memperjuangkan rakyatnya, tidak ditindas atau dikorup oleh pemerintah yang korup itu.
Kepada bupati atau walikota yang korup harus segera menghentikan korupsinya supaya rakyat makan dan pembangunan berjalan. Jika DPD sudah semakin profesional dan bagus, pemerintahnya sudah tidak bisa mau ngomong apa lagi. Tapi, kita juga harus ngomong ke pemerintah agar gaji mereka mencukupi untuk makan, sekolahkan anak, dan mempunyai tabungan yang wajar untuk dana pensiunnya. Kita harus fair juga, jangan gajinya cuma bisa makan dua minggu, dua minggu lagi curi dari mana.
Jadi kita harus lihat dari semua aspek. Masyarakat harus juga bisa berproduksi dan penghasilannya bisa memenuhi kebutuhan untuk hidup dan sebagainya. Jika itu terlaksana, SDM terbaik dari luar Sumatera Utara akan datang masuk untuk ikut melaksanakan pembangunan. Dan, akumulasinya adalah terjadi pembangunan yang dahsyat di sana. Apalagi kalau agroindustri dan pariwisata ditangani paralel, on line, akan menghasilkan PAD yang sangat besar. Tidak lagi terjadi urbanisasi. Kelas-kelas orang yang mempunyai kemampuan lebih harus berada di Sumatera Utara untuk membangun.
Anda punya pemikiran untuk meningkatkan penghasilan asli daerah (PAD) di Sumatera Utara?
Konsepnya adalah, tingkatkan dahulu pendapatan masyarakat baru tarik PAD. Caranya, tumbuhkan kegiatan perekonomian dengan bantuan fasilitas pemerintah. Dari penghasilan rakyat yang meningkat kemudian tarik pajak untuk menambah PAD.
Di sisi lain, janganlah ditumbuhkan bisnis-bisnis lain yang bertentangan dengan kepentingan rakyat. Misalnya, jika di daerah itu tidak bisa berdiri industri tertentu karena dapat merusak lingkungan, mengandung penyakit dan sebagainya, janganlah hanya karena kepentingan PAD industri ini dipaksakan hidup walau rakyatnya melarat bau dan segala macam. Ini akan rusak dan mengakibatkan daerah merana. Short term, dengan adanya industri semacam itu pertumbuhan ekonomi akan tinggi tetapi semu sifatnya. Akibatnya akan lebih besar sebab rakyat akan menderita fisik dan kelestarian lingkungan hidup terganggu.
Adakah tokoh yang menjadi idola Anda?
Tokoh idola saya presiden Amerika Serikat yang sekarang, George Walker Bush. Saya melihat sistem penetrasi dia terhadap pembangunan ekonomi Amerika cukup bagus. Dia seorang pedagang. Dia menjual produk. Apapun dia lakukan untuk mengamankan business aspect yang diperlukan oleh negaranya. Terlepas dari dia melakukan invasi dan segala macam, namun di belakang itu semua adalah kepentingan jualan negaranya. Mau invasi atau apa tujuannya dagang.
Saya juga tertarik dengan kepala pemerintahan Cina yang sekarang, presiden pengganti Li Peng. Sebenarnya dia tidak mau jadi presiden. Sewaktu dilantik menjadi presiden dia mengatakan, “Saya mau menjadi presiden tapi kalian harus memberikan saya suatu keinginan untuk bisa mengorganisir organisasi saya’. Dia menangis ketika terpilih menjadi presiden. Lalu ketika ditanya oleh parlemen Cina apa yang dia perlukan untuk pembangunan Cina, jawaban dia aneh.
Dia menjawab, “Tolong berikan saya 100 peti mati. Peti mati itu akan saya gunakan untuk menggantung beberapa koruptor. Kalau saya tidak berhasil meminimize koruptor di Cina, maka, yang 99 peti itu untuk menggantung para koruptor sedangkan sisanya untuk saya satu.” Kemajuan Cina sangat pesat sekarang. Jalanan sampai ke desa-desa sudah hotmix semua, saya baru ke sana, luar biasa itu. Saya mengidolakan pemimpin seperi dia. ► haposan tampubolon
Nama:
DR. Ir. Nurdin Tampubolon
Lahir:
Siabal-abal, Pematang Siantar, Sumatera Utara, 29 Desember 1954
Istri:
Berliana br. Tobing
Anak:
Lima orang putra-putri
Orangtua:
Ayah Umar Tampubolon, Ibu Rupina Sianipar
Jumlah saudara:
Anak ketiga dari 10 bersaudara
Pendidikan:
1. Sarjana Teknik Mesin, Fakultas Teknik Mesin Universitas Sumatera Utara (FT-USU)
2. Menerima gelar Doktor Kehormatan dari USA, tahun 1999
Kursus:
1. Technical training dan management selama 13 bulan (1980-1981) di tokyo, Jepang
2. Management of energy resources and energy saving selama 3 (tiga) bulan di Turin, Italy, 1985
3. Management course
Pengalaman Kerja:
1. Di Sumitomo, Jepang, tahun 1980
2. Di PT Inalum, Kuala Tanjung, tahun 1981
3. Di PT Astenica, Jakarta, tahun 1982-1984
4. Kepala Seksi di Departemen Pertambangan dan Energi, Jakarta tahun 1984-1988
5. Chairman & Chief Executive Officer (CEO) Sonvaldy Group
6. Bakal Calon Gubermur/Wakil Gubernur Sumatera Utara, periode tahun 2003-2008
7. Anggota MPR RI mewakili Sumatera Utara, 2003-2004
8. Ketua Umum Dewan Presidium Pomparan Sapala Tua Tampuk Na Bolon se Indonesia
9. Ketua Umum IKTM USU (Ikatan Alumni Teknik Mesin USU) se Jabotabek
Anak Perusahaan Sonvaldy Group:
1. PT Sonvaldy Utama Permata
2. PT Aersupindo Abadi
3. PT Tomtam Hitekindo
4. Rintan PTE/LTD
5. PT Sonvaldy Agrotama
6. PT Bangkit Giat Usaha Mandiri
7. PT Bintang Sakti Lenggana
Penghargaan:
1. 1999-200, Who’s Who of The World Global Edition (Barons Who’s Who, USA)
2. 1999-2000, Who’s Who of The Asian Pacific Rim International Edition (Barons Who’s Who, USA)
3. 1998, Profile 50 Pengusaha Muda Indonesia
4. 1998, Citra Karya Pembangunan Indonesia ‘98
5. 1997-1998, Asean Development Citra Awards (Asean Programme Consultant Indonesia Consortium)
Lain-lain:
1. Profile di Harian Kompas tanggal 20 April 1998 berjudul “Nurdin Tampubolon: Sebuah Perjalanan Orang Mandiri”
2. Tulisan Sumbangan Pemikiran di Harian Sinar Indonesia Baru (SIB) Medan, tanggal 7 dan 8 Desember 2000