17 September 2008

PRASANGKA

Ada seorang ayah yang sedang pergi bersama anaknya menggunakan mobil. Di tengah perjalanan mobil mereka mengalami kecelakaan. Sang ayah meninggal dan anaknya terluka parah.

Sang anak akhirnya dibawa ke sebuah rumah sakit di unit gawat darurat. Seorang dokter jaga segera menghampiri anak tersebut dan ketika melihat wajah anak itu si dokter jaga itu berteriak, “ Oh Tuhan, anak ini adalah anakku?”

Pertanyaan saya, siapakah si dokter jaga itu? Saya yakin dalam beberapa menit Anda akan kebingungan untuk menjawab pertanyaan ini. Siapakah dokter jaga itu? Anda barangkali menebak-nebak, siapakah dokter jaga ini yang mengaku bahwa yang menjadi korban itu adalah anaknya?

Jawabannya begitu sederhana. Dokter jaga itu adalah ibunya. Ah, iya, ibunya, kenapa dari tadi kita tidak berpikir ke sana? Ya, karena selama ini kita secara tidak sadar sudah punya sebuah anggapan kalau seorang dokter jaga itu pasti seorang laki-laki dan bukan seorang perempuan. Inilah masalahnya!

Dalam banyak hal, keputusan yang kita buat dalam hidup kita sangat dipengaruhi atau lebih parah lagi ditentukan oleh ketidaksadaran kita. Tanpa kita sadari, kita semua sudah punya priming, stereotip, a-priori, pre-judgment, prasangka, dan sejenisnya dalam merespon segala hal yang terjadi dalam hidup kita. Ketika melihat teman kita yang berbadan gemuk kita sudah punya prasangka teman kita ini pasti pemalas. Ketika melihat tetangga kita yang berkulit hitam, kita sudah punya prasangka, mereka pasti orang jahat. Ketika melihat orang yang berambut kriting, kita beranggapan, ah mereka orang-orang terbelakang.

Darimana datangnya priming, stereotip, a-priori, pre-judgment, prasangka yang kita miliki ini? Dari lingkungan sosial kita. Ketika kecil orang tua kita mengatakan agar kita jangan berteman dengan orang lain yang berbeda suku, berbeda agama, berbeda status sosial, maka ketika tumbuh menjadi dewasa, tanpa kita sadari kita sudah punya kerangka pikir bahwa orang yang berbeda suku, beda agama itu buruk. Keyakinan ini semakin diteguhkan ketika kita menemukan komunitas yang juga beranggapan sama. Dan semakin dikuatkan ketika kita membaca buku-buku dan ceramah orang-orang yang cukup kita segani yang juga mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh orang tua kita. Padahal, masalahnya adalah, apakah apa yang kita prasangkai itu benar? Apakah orang yang berbeda dengan kita itu buruk?

Perjalanan kita untuk menjadi manusia sejati adalah perjuangan untuk memurnikan cara pandang kita dari kotoran-kotoran prasangka, apriori yang tidak tepat. Kita diciptakan untuk menjadi manusia besar dengan pikiran terbuka lebar, bukan manusia buta dan kerdil dengan pikiran sempit.

Ada kisah sebuah telur elang yang ditetaskan oleh seekor ayam. Telur elang ini akhirnya menetas bersama dengan telur-telur ayam lainnya. Sampai beranjak dewasa, si elang ini tidak menyadari bahwa ia adalah seekor elang yang mampu terbang tinggi menjelajahi angkasa raya. Karenanya, ia hanya belajar bagaimana caranya terbang rendah seperti halnya ayam-ayam lainnya. Hingga suatu hari, ia melihat seekor elang sedang menukik dari langit dengan begitu perkasanya. Ia begitu terkagum-kagum dengan binatang yang bisa terbang tinggi itu, dan ia bertanya kepada teman-teman ayamnya, “Binatang apakah gerangan yang sedang terbang di langit itu?” Lalu teman-temannya mengatakan, “Itu burung elang.” Begitulah ia menjalani kehidupannya sehari-hari sebagai ayam dan bermimpi suatu hari ia akan menjadi seperti seekor elang yang bisa terbang tinggi.

Jangan biarkan prasangka, apriori, membutakan Anda sehingga tidak tahu kalau si dokter jaga itu adalah ibunya. Jangan biarkan apriori dan prasangka memenjarakan Anda dalam dunia yang sempit seperti si elang tadi, sementara Anda mampu menjelajahi dunia yang luas tanpa batas!

Tidak ada komentar: